Jumat, 01 Juni 2012

sejarah jurnalistik

A.    SEJARAH JURNALISTIK
Berbagai literatur tentang sejarah jurnalistik senantiasa merujuk pada “Acta Diurna” pada zaman Romawi Kuno masa pemerintahan kaisar Julius Caesar (100-44 SM). “Acta Diurna”, yakni papan pengumuman (sejenis majalah dinding atau papan informasi sekarang), diyakini sebagai produk jurnalistik pertama; pers, media massa, atau surat kabar harian pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai “Bapak Pers Dunia”.
Sebenarnya, Caesar hanya meneruskan dan mengembangkan tradisi yang muncul pada permulaan berdirinya kerajaan Romawi. Saat itu, atas peritah Raja Imam Agung, segala kejadian penting dicatat pada “Annals”, yakni papan tulis yang digantungkan di serambi rumah. Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya. Saat berkuasa, Julius Caesar memerintahkan agar hasil sidang dan kegiatan para anggota senat setiap hari diumumkan pada “Acta Diurna”. Demikian pula berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya. Papan pengumuman itu ditempelkan atau dipasang di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui oleh umum.
Berita di “Acta Diurna” kemudian disebarluaskan. Saat itulah muncul para “Diurnarii”, yakni orang-orang yang bekerja membuat catatan-catatan tentang hasil rapat senat dari papan “Acta Diurna” itu setiap hari, untuk para tuan tanah dan para hartawan. Dari kata “Acta Diurna” inilah secara harfiah kata jurnalistik berasal yakni kata “Diurnal” dalam Bahasa Latin berarti “harian” atau “setiap hari.” Diadopsi ke dalam bahasa Prancis menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan harian”, atau “laporan”. Dari kata “Diurnarii” muncul kata “Diurnalis” dan “Journalist” (wartawan).
Dalam sejarah Islam, cikal bakal jurnalistik yang pertama kali di dunia adalah pada zaman Nabi Nuh. Saat banjir besar melanda kaumnya, Nabi Nuh berada di dalam kapal beserta sanak keluarga, para pengikut yang saleh, dan segala macam hewan. Untuk mengetahui apakah air bah sudah surut, Nabi Nuh mengutus seekor burung dara ke luar kapal untuk memantau keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Sang burung dara hanya melihat daun dan ranting pohon zaitun yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun dipatuk dan dibawanya pulang ke kapal. Nabi Nuh pun berkesimpulan air bah sudah mulai surut. Kabar itu pun disampaikan kepada seluruh penumpang kapal. Atas dasar fakta tersebut, Nabi Nuh dianggap sebagai pencari berita dan penyiar kabar (wartawan) pertama kali di dunia. Kapal Nabi Nuh pun disebut sebagai kantor berita pertama di dunia.


B.    SEJARAH  JURNALISTIK  INDONESIA
Sebagai Agen pengawas kekuasaan, perkembangan jurnalistik di Indonesia selalu berkaitan erat dengan pemerintahan dan gejolak politik yang terjadi. Cerita sejarah jurnalistik Indonesia mulai merebak  pada masa pergerakan. Berdasarkan sejarah, jurnalistik Indonesia dibagi menjadi 3 golongan.
1. Pers Kolonial
Sejarah jurnalistik Indonesia pertama dimulai oleh orang-orang Belanda. Saat itu dibangun sebuah persatuan jurnalistik. Persatuan jurnalistik tersebut dikenal juga dengan istilah Pers Kolonial. Pers Kolonial merupakan pers yang dibangun oleh orang-orang Belanda di Indonesia. Pada Abad ke-18, muncul surat kabar berama Bataviasche Nouvellesd. Sejak saat itu bermunculan surat kabar dengan bahasa Belanda yang isinya bertujuan untuk membela kaum kolonialis.
2. Pers Cina
Berkembangnya dunia jurnalistik di Indonesia juga taklepas dari pengaruh orang-orang Cina. Sejarah jurnalistik Indonesia yang berhubungan dengan kaum dataran Cina ini dimulai dari kemunculan surat kabar yang dibuat oleh orang-orang Cina. Media ini dibuat sebagai media pemersatu keturunan Tionghoa di Indonesia.
3. Pers Nasional
Sejarah jurnalistik Indonesia yang sesungguhnya dimulai saat gerakan Pers Nasional muncul pada abad ke-20 di Bandung dengan nama Medan Priayi. Media yang dibuat oleh Tirto Hadisuryo atau Raden Djikomono, diperuntukan sebagai alat perjuangan pergerakan kemerdekaan. Tirto Hadisuryo akhirnya dianggap sebagai pelopor peletak dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.
     Sejarah Jurnalistik Indonesia – Dari Penguasa Hingga Industri
Sejarah jurnalistik Indonesia menjadi tonggak berkembangnya Pers Indonesia itu sendiri. Terlebih setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mulailah bermunculan berbagai surat kabar baru. Jika dilihat berdasarkan situasi politik dan pemerintahan yang terjadi sejak kemerdekaan hingga saat ini, pers di Indonesia mengalami beberapa fase sebagai berikut.
1. Pers Sebagai Alat Perjuangan
Sejarah jurnalistik Indonesia terus bergulir.  Setelah reformasi, pers dibutuhkan sebagai alat pemersatu bangsa. Dari tahun 1945 hingga 1950 masih ada pergolakan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Fungsi pers di sini sebagai pemberi informasi dan sebagai alat provokasi untuk mengajak rakyat agar mau berjuang bersama. Beberapa surat kabar yang ada saat itu adalah Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free Indonesia. Surat kabar tersebut menjadi saksi bisu cerita sejarah jurnalistik Indonesia.
2. Pers Partisipan (Pers Sebagai Alat Politik)
Pada 1950 -1960, setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, pergolakan politik di dalam negara pun mulai terjadi. Pers di Indonesia mulai terjebak menjadi media politik. Surat kabar menjadi alat propaganda tiap partai politik. Tiap-tiap surat kabar menjadi alat untuk menjatuhkan partai lain sehingga situasi negara semakin panas dan menjadi kacau. Tahun-tahun ini menjadi tahun penuh cerita dramatis dalam perjalanan sejarah jurnalistik Indonesia.
Di masa Orde Baru, pers dengan adanya penggabungan beberapa partai politik membuat hubungan antara pers dan partai politik saat itu menjadi putus. Pers menjadi lebih independen dan tidak terpengaruh dalam hal pemberitaan.  Ketika itulah pers mulai berani sebagai alat kritik pemerintahan. Untuk itu, Presiden Soeharto langsung melakukan tindakan pembekuan terhadap pers yang berani melakukan kritik terhadap pemerintah.
Sejak saat itu, pers seperti ketakuatan. Informasi yang diberikan sangat sempit cakupannya. Tidak ada yang berani menentang penguasa saat itu. Sejarah jurnalistik Indonesia memang benar-benar memaparkan cerita-cerita menarik bagi warga jurnalisme itu sendiri.
3. Pers Sebagai Alat Pengawas Pemerintahan
Sejarah jurnalistik Indonesia tidak selamanya menyuguhkan cerita-cerita dramatis. Di tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai bangkit. Pers mulai berani bertindak sebagai alat pengawas pemerintahan. Kritik pun mulai berani dilancarkan, dan pers mulai menunjukkan taringnya. Maka tumbanglah rezim Soeharto di tahun 1998. Penyerahan jabatan kepada BJ Habibie disambut dengan suka cita. Departemen Penerangan mulai ditiadakan, sehingga pers mendapatkan kembali kebebasannya.
4. Pers sebagai Industri
Masa-masa suram sejarah jurnalistik Indonesia perlahan mulai kembali cerah. Sejak tumbangnya Soeharto, hingga sekarang pers mulai bermunculan. Semakin banyaknya media massa ini tentu membuat mereka harus bersaing untuk tetap hidup dan mendapat perhatian masyarakat. Maka pers semakin kreatif dalam pengemasan informasinya.
Tidak hanya pemberitaan tentang politik dan situasi negara saja, pers kini mulai memperhatikan keingintahuan masyarakat akan sebuah informasi, seperti musik, gaya hidup, kuliner, ekonomi dan lainnya. Pers kini sudah masuk dalam ranah industri. Perjalanan panjang dari sejarah jurnalistik Indonesia memang melahirkan banyak hal. Sebuah perjalanan panjang yang pada akhirnya membawa pers Indonesia dalam keadaan seperti sekarang ini.

C.    PENGERTIAN BAHASA JURNALISTIK
Pengertian bahasa jurnalistik harus berpedoman kepada kaidah dan unsur-unsur pokok yang terdapat dan melekat dalam definisi jurnalistik. Menurut Dewabrata, penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang  mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan (Dewabrata, 2004:23).
Dalam penulisan berita, wartawan kerap menggunakan bahasa jurnalistik yang sesuai dengan karakter (gaya) tulisannya. Untuk penulisan berita di dalam media massa, bahasa jurnalistik disesuaikan dengan jenis beritanya. Misalnya, untuk penulisan berita investigasi, biasanya wartawan menggunakan bahasa jurnalistik reportase, sedangkan untuk penulisan artikel tokoh atau tulisan ringan, bisa menggunakan bahasa jurnalistik features.
Rosihan Anwar,  wartawan senior terkemuka, menyatakan bahwa bahasa yang digunakan oleh wartawan dinamakan bahasa pers atau bahasa jumalistik. Bahasa pers ialah salah satu ragam bahasa yang memiliki sifat-¬sifat khas yaitu: singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, dan menarik. Bahasa jurnalistik harus didasarkan pada bahasa baku. Dia tidak dapat menganggap sepi kaidah-kaidah tata bahasa. Dia juga harus memper¬hatikan ejaan yang benar. Dalam kosa kota, bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan dalam masyarakat (Anwar, 1991:1).
Menurut S. Wojowasito dari IKIP Malang dalam. Karya Latihan Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (KLW PWI) di Jawa Timur (1978), bahasa jumalistik adalah bahasa komunikasi massa seperti tertulis dalam harian-harian dan majalah-majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa tersebut haruslah jelas dan mudah dibaca oleh mereka dengan ukuran intelek yang minimal, sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf dapat menikmati isinya. Walaupun demikian, bahasa jumalistik yang baik haruslah sesuai dengan norma-norma tata bahasa yang antara lain terdiri atas susunan kalimat yang benar dan pilihan kata yang cocok (Anwar, 1991:1-2).
Bahasa jurnalistik harus mudah dipahami oleh setiap orang yang membacanya karena tidak semua orang mempunyai cukup waktu untuk memahami isi tulisan yang ditulis oleh wartawan. Jadi, bahasa jurnalistik bahkan harus bisa dipahami oleh tingkat masyarakat berintelektual rendah. Bahasa jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa yang berfungsi sebagai penyambung lidah masyarakat dan bahasa komunikasi pengantar pemberitaan yang biasa digunakan media cetak dan elektronik.
Hal itu ditegaskan pula oleh pakar bahasa terkemuka dari Bandung JS Badudu, bahwa bahasa jumalistik harus singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, tetapi selalu menarik. Sifat-sifat itu harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik mengingat media massa dinikmati oleh lapisan masyarak yang tidak sama  tingkat pengetahuannya. Orang  tidak harus menghabiskan waktunya  hanya untuk membaca surat kabar. Harus lugas, tetapi jelas, agar mudah dipahami. Orang tidak perlu mesti mengulang-ulang apa yang dibacanya karena ketidakjelasan bahasa yang digunakan dalam surat kabar itu (Anwar,1991:2).
Daryl L. Frazel dan George Tuck, dua pakar pers Amerika  dalam Principles of Editing, A Comprehensive Guide for Student and Jour¬nalist (1996:122-123), menuliskan bahwa pembaca berharap, apa yang dibacanya dalam me¬dia massa adalah yang bisa dimengerti tanpa bantuan pengetahuan khusus.Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu penge¬tahuan kepada mereka yang bukan ilmuwan, tentang hubungan internasional kepada mereka yang bukan diplomat, dan masalah-masalah politik kepada para pemilih yang awam (to explain science to nonscientists,  international relations to nondiplomats, and politics to ordinary voters) (A.M. Dewabrata 2004:20).
Berbeda dengan bahasa sinetron yang sering asosial, akultural, egois dan elitis, bahasa jurnalistik justru sangat demokratis dan populis, karena dalam bahasa jumalistik tidak dikenal istilah tingkat, pangkat, dan kasta. Sebagai contoh, ayam berjalan, saya berjalan, guru berjalan, gubernur berjalan, menteri berjalan, presiden berjalan. Semua diperlakukan sama, tidak ada yang diistimewakan atau ditinggikan derajatnya. Disebut populis, karena bahasa jurnalistik menolak semua klaim dan paham yang ingin membedakan si kaya dan si miskin, si tokoh dan si awam, si pejabat dan si jelata, si pintar dan si bodoh, si terpelajar dan  orang yang kurang ajar. Bahasa jurnalistik diciptakan untuk semua lapisan masyarakat di kota dan di desa, di gunung dan di lembah, di darat dan di taut. Tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang dianakemaskan atau dianaktirikan oleh bahasa jurnalistik.
Bahasa berita atau laporan surat kabar, tabloid, majalah, radio, televisi, dan media on line internet yang tidak akrab di mata, telinga, dan benak khalayak, tidak layak disebut bahasa jurnalistik, bahkan harus jelas ditolak sebagai bahasa jurnalistik. Menurut George Orwell, bahasa jumalistik bukan sekadar alat komunikasi. Bahasa jurnalistik juga merupakan bagian dari kcgiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada kondisi rill, terkait dengan isi pemberitaan. Bahasa (baik dalam bentuk huruf dan gambar), memiliki kekuatan, pertentangan, pergulatan. Selain itu, bahasa jurnalistik adalah senjata sekaligus penengah, racun sekaligus obat, penjara sekaligus jalan keluar, dalam wacana berita.
Bahasa jurnalistik juga memiliki kekuatan dahsyat dalam membentuk perilaku pembaca. Bahasa jumalistik di dalam pemberitaan jangan hanya memfokuskan diri pada upaya menarik perhatian khalayak pada masalah tertentu. Bahasa setidaknya dapat membatasi persepsi dan membantu pembaca memikirkan sesuatu yang diyakininya. Misalnya, pernyataan keras dari elit politik atau korban konflik di lapangan bisa membakar emosi atau sebaliknya, sejuk dan mcnenteramkan, tergantung pada cara wartawan memformat isi dan bahasa yang dipergunakannya. Selain itu, bahasa juga bisa mendominasi pemberitaan, baik berita politik atau ekonomi dan sebagainya. Bahasa bisa meredam tindak kekerasan.
Saat ini bahasa jurnalistik mulai beragam digunakan untuk menulis berita ekonomi, politik ataupun tajuk rencana, disesuaikan dengan angle tulisan, sumber berita dan keterbatasan media massa, baik cetak atau elektronik (ruang dan waktu). Dalam penggunaannya, menurut JS Badudu, bahasa jurnalistik memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas dan menarik, serta tetap berpedoman pada kaidah bahasa Indonesia baku. Jadi, bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh wartawan dalam menulis berita dan memiliki sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
A.M. Dewabrata menegaskan bahwa maksud pernyataan bahasa jurnalistik sebagai ragam Bahasa Indonesia bagi wartawan dalam menulis berita, sebenarnya menunjuk pengertian umum yang membedakan dengan ragam lainnya yang dapat dibedakan dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, dan kata-kata (A.M. Dewabrata, 2004: 22).
Pada uraian lebih lanjut tentang bahasa jurnalistik, seperti dijelaskan dalam konten blog ini, membahas tentang kalimat atau kesatuan  paling kecil yang mempunyai makna dalam penyampaian berita. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kalimat sebagai kata benda adalah “kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan”. Jadi lewat kalimatlah pesan komunikasi disampaikan.
Dalam susunan teks berita, ragam bahasa jurnalistik yang baik biasa ditandai dengan kalimat-kalimat yang memiliki jumlah kata sedikit, karena kalimat yang memiliki jumlah kata banyak sering sulit dipahami maksudnya.  Kadang pesan berita hanya berwujud satu kata pendek: “Camkan!”, “Membosankan!” atau “Dengar?”. Tanda lain bahasa jurnalistik yang baik ialah kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari awal sampai akhir, tidak menggunakan susunan yang kaku dan formal yang sulit dicerna.
Kepandaian wartawan menggunakan kata (diksi) dan memainkan konotasi ketika menyususn kalimat, sangat mempengaruhi jelas-tidaknya pesan yang disampaikan. Hukum DM (diterangkan dan menerangkan) atau lebih luas adalah “bagian yang dijelaskan” dan “bagian yang menjelaskan” harus diatur dengan cermat letaknya. Dengan menggunakan kalimat yang tersusun sesuai ragam jurnalistik, wartawan bisa menuntun pembaca memahami berita setepat dan seakurat mungkin seperti pesan yang dikehendakinya.
Dengan kata lain, seorang wartawan dituntut terampil menyampaikan berita sebagai alat untuk menarik perhatian pembaca terhadap suatu peristiwa yang dia lihat memiliki nilai berita. Di samping itu AS Haris Sumadiria mencatat berdasarkan fungsi bahasa secara umum, bahasa jurnalistik berfungsi sebagai: 1) Alat untuk menyatakan ekspresi diri; 2) Alat komunikasi; 3) Alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial; serta 4)Alat melaksanakan kontrol sosial (Sumadiria, 2006: 8).

D.    PERKEMBANGAN JURNALISTIK

1.    Perkembangan Jurnalistik di Dunia Internasional
Tahun ini forum ‘OhmyNews International Citizen Reporters’ diselenggarakan di ‘Korea Press Center’ pada tanggal 27-29 Juni. Setelah sambutan pembukaan oleh Oh Yeon-ho, CEO dan pendiri dari OhmyNews, para peserta mendapat kehormatan untuk mendengarkan pesan dari presiden Korea Selatan, Mr. Roh Moo-hyun. Hal ini menunjukkan perhatiannya terhadap perkembangan jurnalistik interaktif.
Forum ini memberi kesempatan untuk para Jurnalis Publik (netizen) Internasional dan teman-teman netizen Korea untuk membagi pengalaman dan belajar satu sama lain. Artikel ini merupakan oleh-oleh dari forum tersebut dari sudut pandang dan tambahan opini dari saya.
Menjadi netizen internasional merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Ketika artikel saya di publikasikan di OhmyNews, saya mendapat e-mail dari para pembaca yang meminta ijin untuk menggunakan atau me-link artikel saya ke blog-blog mereka. Ada juga yang bertanya bagaimana cara menulis untuk Ohmy News.
     Jurnalistik Dalam Pendidikan
Oleh Ernawati (Kamis, 16 April 2009)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jurnalistik telah berkembang dan dikenal oleh seluruh masyarakat. Begitu juga dalam pendidikan, jurnalistik juga menyebarluas, mempengaruhi dan bahkan diajarkan di sekolah. Dalam kurikulum juga di muat tentang pembelajaran yang mendukung munculnya karya tulis atau karya kreatif yang termasuk dalam genre karya jurnalistik. Bahkan pihak sekolahpun mendukung adanya perkembangan jurnalistik tersebut di sekolah dengan memfasilitasi medianya berupa majalah dinding (mading) atau berupa bulletin sekolah. Dengan demikian dapat dibuktikan bahwa jurnalistik telah berkembang dan mempengaruhi masyarakat termasuk dalam dunia pendidikan.

Jurnalistik dalam pembelajaran telah dikemas sedemikian rupa dalam kurikulum sehingga dapat membantu siswa untuk lebih mengenal, memahami, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Baik dari tingkat SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi terdapat materi tentang jurnalistik yang disematkan dalam kurikulum khususnya mata pelajaran bahasa Indonesia. Seperti yang dijelaskan sebelumnya hal tersebut dilaksanakan agar siswa atau peserta didik lebih mengenal, memahami, serta dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya itu saja, dengan adanya jurnalistik yang berkembang luas dimasyarakat baik dalam bentuk cetak maupun elektronik tersebut, seharusnya dapat dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin.

Terlebih lagi dalam dunia pendidikan. Jurnalistik dalam dunia pendidikan memiliki  berbagai fungsi yang mendukung ketercapainya tujuan pembelajaran. Jurnalistik dapat digunakan sebagai pemacu kreatifitas pada siswa atau peserta didik. Dengan jurnalistik siswa atau peserta didik dapat termotivasi untuk lebih giat berkreasi dan lebih mengasah kemampuan mereka. Terlebih lagi dengan adanya kasadaran dari pihak sekolah yang menfasilitasi dengan berbagai media baik berupa madding maupun bulletin sekolah.
Siswa atau peserta didik akan lebih semangat dan berlomba-lomba agar hasil kreatifitasnya dapat dimuat dan dinikmati oleh orang lain baik teman sejawat maupun guru-guru mereka. Itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi siswa atau peserta didik yang karyanya dapat dimuat karena itu merupakan salah satu bukti eksistensi siswa atau peserta didik agar diakui keberadaan, kemampuan, dan prestasinya.Berbagai penjelasan di atas dapat menjelaskan bahwa jurnalistik juga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan.
     Jurnalistik Media Kreasi
Jurnalistik media kreasi atau yang dapat disingkat sebagai Jurmedkres ini adalah salah satu bentuk media yang berisi tentang berbagai manfaat dunia jurnalistik dalam pembelajaran. Sebelum membahas lebih jauh tentang jurnalistik media kreasi tersebut, terlebih dahulu sebaiknya kita harus mengetahui tentang seluk beluk dari jurnalistik terlebih dahulu.
2.    Masa Perkembangan
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali. Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak. Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.

SELUK BELUK JURNALISTIK
Oleh Ernawati (Rabu, 15 April 2009)
1.    Pengertian Jurnalistik
Dunia jurnalistik sudah banyak di kenal dan menyebar luas di kalangan masyarakat. Salah satu bentuk nyata hasil dari jurnalistik adalah banyak diterbitkannya media massa, baik cetak maupun elektronik. Bahkan mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, manusia selalu disuguhin berbagai macam atau jenis berita sebagai hasil dari kegiatan jurnalistik tersebut. Sehingga istilah jurnalistik sudah tidak asing lagi di mata masyarakat.
Istilah jurnalistik yang tidak asing tersebut, membuat terdapat berbagai asumsi tentang pengertian atau devinisi jurnalistik. Namun dari berbagai pengertian yang muncul di masyarakat tersebut, pada intinya sama. Salah satunya pengertian yang dikemukakan oleh Drs. Sutedjo yang memberikan asumsi bahwa jurnalistik adalah salah satu ilmu komunikasi yang mempelajari keterampilan seseorang dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi tentang suatu permasalahan dan disebarluaskan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Beliau juga mengemukakan bahwa bentuk dari karya jurnalistik adalah uraian atau pendapat yang mengandung nilai berita dan penjelasan masalah yang aktual atau sedang dibicarakan banyak orang, dan disajikan kepada khalayak melalui media massa. Jadi, semua bentuk tulis-menulis yang dimuat di media massa merupakan karya jurnalistik (Peni, 2006:15).
Menurut Sulhan (2006:10) yang memandang berdasarkan segi etimologi (arti bahasa), jurnalistikjournal yang berarti catatan harian. Adapun istik merujuk pada kata estetika yang berarti ilmu pengetahuan tentang keindahan. Dapat disimpulkan bahwa secara etimologis jurnalistik dapat diartikan sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari, karya yang memiliki nilai keindahan yang dapat menarik perhatian masyarakat sehingga dapat dinikamti dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya. terdiri atas dua kata, yaitu jurnal dan istik. Kata jurnal berasala dari bahasa Perancis,
Sulhan juga mengemukakan bahwa banyak tokoh-tokoh ahli yang memberikan pandangan mereka yang berbeda-beda tapi memiliki makna yang sama tentang jurnalistik. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya adalah Astrid S Susanto yang mengartikan jurnalistik sebagai kejadian pencatatan dan pelaporan serta penyebaran tentang kejadian sehari-hari. Sama halnya dengan pandangan yang dikemukakan oleh Onong Uchjana Effendi bahwa jurnalistik merupakan kegiatan pengolahan laporan harian yang menarik minat khalayah, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat.
Tokoh lain yang ikut menyumbangkan pandangannya adalah A. W. Wijaya yang manyatakan bahwa jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasan mengenai berbagai peristiwa atau kejadin sehari-hari yang actual dan faktual dalam waktu yang secepat-cepatnya. Sedanggkan menurut Djen Amar mengartikan jurnalistik sebagai kegiatan mengumpulkan, mengelolah, dan menyebarkan berita kepada khalayak seuas-luasnya. Dari berbagai pandangan para tokoh tersebut, Kustadi Suhandang mencoba menyimpulkan bahwa jurnalistik adalah seni dan ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayak (Sulhan, 2006:11).
Sedangkan menurut Supriyatno dalam bukunya yang berjudul Ragam Bahasa Jurnalistik menjelaskan bahwa Secara harfiah, istilah jurnalistik berasal dari kata “journal” yang berarti catatan harian. Sedangkan jurnalis adalah seseorang yang pekerjaannya mengumpulkan, mengolah dan kemudian menyiarkan catatan-catatan harian tersebut.
Sejalan dengan kedua pengertian di atas, Yurnaldi (1992:17) juga menyumbangkan pemikirannya tentang jurnalistik. Menurutnya jurnalistik berasal dari istilah Acta Diurna, yang artinya segala kegiatan dari hari ke hari. Dalam bukunya yang berjudul Kiat Praktis Jurnalistik untuk siswa, mahasiswa, dan calon wartawan, Yurnaldi juga sependapat dengan asumsi yang dikemukakan oleh Supriyanto. Selain itu, dalam bukunya tersebut Yurnaldi juga menambahkan pendapat dari Adinegoro, yang menyatakan bahwa jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya untuk memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya.
Berdasarkan berbagai pandangan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa jurnalistik adalah salah satu komunikasi yang menyiarkan berita dan atau ulasan berita tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari yang umum dan aktual dengan secepat-cepatnya.
2.    Macam-Macam Jurnalistik
Berdasarkan media penyebarluasannya, jurnalistik terdiri atas dua macam yaitu; jurnalistik cetak dan jurnalistik elektronik.
1.    Jurnalistik cetak
Jurnalistik cetak adalah jurnalistik yang disampaikan melalui media cetak. Jurnalistik jenis ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari jurnalistik ini adalah pesan yang disampaikan melalui media cetak bisa dibaca berulang-ulang dan dapat dibaca dimana saja dan kapan saja. Sedangkan kekurangannya adalah tidak bisa menyajikan peristiwa yang sedang berlangsung.
2.    Jurnalistik elektronik
Jurnalistik elektronik adalah jurnalistik yang dipublikasikan melalui media elektronik. Seperti halnya dengan jurnalistik cetak, jurnalistik elektronik juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari jurnalistik ini adalah bisa menyajikan peristiwa yang sedang berlangsung. Sedangkan kekurangannya adalah pesan hanya dapat didengar secara sekilas, kalimat singkat, padat, dan sederhana (Peni, 2006:15-16).

Berdasarkan garis besarnya, jurnalistik itu dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:
News    Views
•    Straight News:
    Matter of news
    Interpretative report
    Reportage
•    Feature News:
    Human interest feature
    Biographical and personality feature
    Travel feature
    Explanatory and how to do it feature
    Scientific feature    •    Editorial
•    Special articles
•    Column
•    Features articles (Yurnaldi, 1992:18).

3.    Unsur-Unsur dalam Jurnalistik
Istilah jurnalistik sering kita dengar. Jurnalistik selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan dengan pergaulan hidup yang dinamis, terus berkembang, lebih-lebih dalam kehidupan masyarakat modern saat ini. Perkembangan jurnalistik tersebut tidak lain didukung oleh unsur-unsur yang ada dalam jurnalistik itu sendiri. Unsur-unsur pendukung tersebut terdiri atas:
1.    Jurnalistik(wartawan)
Wartawan merupakan orang-orang yang bertugas mencari, mengumpulkan, dan mengelola bahan pemberitaannya menjadi konsep berita, komentar, dan iklan (advertensi) yang akan disiarkan. Wartawan juga bisa dikatakan sebagai jurnalis. Berdasarkan tugas dan karya yang dihasilkannya, wartawan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu reporter dan editor. Reporter adalah jurnalis atau wartawan yang bertugas mencari dan mengumpulkan berita atau bahan pemberitaan melalui peliputan peristiwa yang terjadi. Sedangkan editor adalah jurnalis atau wartawan yang bertugas mengedit berita, dalam arti menilai dan mempertimbangkan kelayakan dan kepentingan hasil karya para reporter untuk dijadikan berita atau komentar dan menyusunnya kembali menjadi produk jurnalistik yang siap cetak.
Selain reporter dan editor dikenal juga istilah koresponden yang merupakan wartawan yang ditugaskan di suatu tempat dan menetap di daerah tersebut. Koersponden bertugas meliput semua peristiwa yang terjadi di daerahnya, kemudian melaporkannya kepada editor media massa tempat koresponden tersebut tercatat sebagai karyawan yang ditugaskan untuk daerah tertentu.
Beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh wartawan adalah:
•    Memiliki jiwa mandiri
•    Memiliki banyak inisiatif untuk mendapatkan berita
•    Tidak mudah untuk dikendalikan oleh orang lain
•    Harus banyak membaca buku untuk menambah pengetahuan
Sedangkan menurut Peni (2006:16-17) menyatakan bahwa seorang wartawan atau jurnalis itu harus memiliki criteria di bawah ini:
•    Berbudaya kritis
•    Berbudaya baca
•    Berpikir sistematis dan logis
•    Memahami gaya dan penguasaan bahasa

2.    Penerbit
Penerbit merupakan instansi yang menyelenggarakan seluruh administrasi penyiaran informasi atau berita. Berdasarkan cara kerjanya, penerbit dapat diartikan sebagai pembuat kata-kata dan gambar kreatif untuk dipublikasikan (disampaikan kepada umum). Tugas yang diemban penerbit mencangkup beberapa hal diantaranya adalah pengeditan, perwajahan, produksi (percetakan), serta pendistribusian (penjualan dan pengedaran), dan sirkulasi. Namun dalam dunia pemberitaan/jurnalistik khususnya jurnalistik cetak baik berupa Koran, tabloid dan majalah, tidak harus memiliki percetakan sendiri. Penerbit media cetak dapat menggunakan jasa percetakan lainnya.

3.    Percetakan
Percetakan merupakan unit kerja sebuah media. Naskah yang akan diterbitkan, setelah melalui proses editing, maka dimasukkan ke percetakan untuk dicetak. Proses percetakan naskah merupakan metode pembuatan bentuk-bentuk huruf dan gambar. Percetakan media ini merupakan karya yang menampilkan pengetahua agar setiap orang dapat membacanya. Melalui karya tersebut disuguhkan fakta-fakta dan ide-ide dalam bentuk yang bagus dan permanen. Percetakan mempunyai tugas untuk memoles produk wartawan dari segi grafis-estetikanya menjadi bentuk berita, komentar, artikel, feature dan iklan dalam surat kabar, majalah, bulletin, dan sebagainya (Sulhan, 2006:12-15).
4.    Fungsi Jurnalistik
Jurnalistik memiliki empat fungsi penting yaitu:
a.    To inform
b.    To interpret
c.    To guide, dan
d.    To intertain(Yurnaldi, 1992:17).
5.    Bahasa Jurnalistik
Bahasa dalam dunia jurnalistik tidak ubahnya memiliki fungsi sebagai cat atau bahan-nahan lain serupa bagi pelukis. Jadi, fungsi bahan tersebut bersifat hampir mutlak. Demikian pula halnya fungsi bahasa bagi seorang penulis atau wartawan. Karena dengan bahasa itulah yang dipakai untuk mengungkapkan idea tau informasi yang hendak dibeberkan. Dalam prakteknya, bahasa dapat pula berfungsi sebagai pisau bermata dua. Yang salah satu sisinya dapat digunakan untuk menyampaikan maksud penulis, membeberkan informasi, unsur-unsur emosi, dan lain-lain.
Dengan demikian bahasa dapat membuat orang dari tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan sisi lainnya, dengan penggunaan bahasa juga mungkin bisa mencelakakan penulis. Kemungkinan ini bisa terjadi bila pemilihan kata yang kurang hati-hati. Seperti pepatah yang sering kita dengar yaitu ”mulutmu adalah harimaumu”. Sedangkan bagi para jurnalis atau wartawan pepatah tersebut bisa diganti dengan “penamu adalah harimaumu”.
Bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa yang digunakan dalam majalah, suratkabar, televisi, atau radio. Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa jurnalistik tentu memiliki ciri tertentu, seperti: pertama, bahasa jurnalistik harus terpelihara. Dan kedua, bahasa jurnalistik harus mudah dipahami(Yurnaldi, 1992:79-82).
Menurut Djuraid (2007:130) bahasa jurnalistik adalah bahasa yang dipakai dan dipahami dalam pergaulan sehari-hari sehingga sebagian besar masyarakat yang melek huruf bisa menikmati isinya. Sedangkan menurut Wojowasito, bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikasi massa sebagaimana yang tampak dalam harian-harian dan majalah-majalah. Lain halnya dengan Kurnniawan Junaedhie yang menjabarkan bahasa jurnalistik sebagai bahasa Indonesia yang digunakan oleh penerbitan pers.
Bahasa yang mengandung makna informatif, persuasif, dan secara konsensusmerupakan kata-kata yang bisa dimengerti secara umum, harus singkat tapi jelas dan tidak bertele-tele. Sudaryatno menjelaskan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa Indonesia yang dipakai untuk menyampaikan informasi melalui pers, radio, televisi dan film.

Terdapat beberapa ciri pokok bahasa jurnalistik yang dikemukakan oleh Rahardi (2006:11-16), diantaranya adalah:
1.    Bahasa juranalistik menjunjung tinggi dimensi kekomunikatifan
2.    Bahasa jurnalistik menjunjung tinggi dimensi kespesifikan
3.    Bahasa jurnalistik menjunjung tinggi dimensi kehematan
4.    Bahasa jurnalistik menjunjung tinggi dimensi kejelasan
5.    Bahasa jurnalistik mengutamakan ketidakmubaziran dan ketidakklisean
Sedangkan menurut Djuraid (2007:132-135) ada beberapa pedoman bahasa jurnalistik, yaitu:
1.    Ringkas, hemat kata dengan menghilangkan bagian yang tidak penting.
2.    Jelas, mudah dimengerti dan tidak mengundang pembaca untuk bertanya-tanya dan membingungkan.
3.    Tertib dan patuh pada aturan atau norma yang berlaku dalam menulis berita; penggunaan bahasa, susunan kata, prioritas dan sebagainya.
4.    Singkat, harus diperhatikan titik, koma dan tanda baca lain harus diprhatikan.
5.    Menarik, menulis berita yang menarik sangat penting yang menjadi tugas wartawan yang ditentukan oleh kemampuannya menulis.
6.    Genre Karya Jurnalistik
Ada beberapa jenis karya tulis dan karya kreatif dalam jurnalistik, diantaranya adalah:
a.    Berita (dalam berbagai ragam pemberitaan)
b.    Tajuk rencana atau editorial
c.    Feature atau tulisan khas
d.    Artikel
e.    Iklan atau advertensi
f.    Pojok (sentilan), karikatur/sketsa dan “stop press”
g.    Esei sastra dan budaya
h.    Cerita pendek, novel yang diturunkan dalam bentuk cerita bersambung (cerber).(Supriyanto, 1997:10)

.

1 komentar:

  1. Makasih gan udah share , blog ini sangat bermanfaat sekali .............




    bisnistiket.co.id

    BalasHapus